The Zone Oddity: Book 1, Chapter 1



Chapter 1 - Seorang Pria dan Seratus Ghoul yang Mengikutinya

Seorang pria berjalan. Menelusuri padang pasir kematian.

Di sini, kau tak akan bisa menemukan manusia biasa. Virus atau aura kematian atau debu kutukan atau apa pun yang mereka sebut itu, semuanya sudah lima ratus tahun berkumpul di sini.

Dan ia berjalan. Tapi kematian nampak mengabaikannya.

Ia mengenakan tudung jubah kumal dan compengnya yang menutupi sampai pinggang. Wajahnya hampir tertutup dengan kacamata dan kain yang menutup hidung dan mulutnya dari aura jahat padang pasir ini. Pria itu terlihat tak mengenakan masker selain kain itu tapi sampai sekarang akalnya masih sehat.

Jika itu orang lain, aura jahat yang terhirup sudah mengubahnya menjadi ghoul.

Hanya orang bodoh yang berani berjalan santai di luar dome dengan hanya kain yang dibalutkan ke wajah yang melindunginya.

Sesekali, ia terdiam merenung. Menatap langit, mencari-cari awan, mencoba menerawang pertanda...

Saat itu ia terlihat seperti orang-orangan. Jubah compang-campingnya berkibar lembut karena tergoda oleh angin.

Tak lama ia menyadari, rombongan mayat berjalan yang mengikutinya dari belakang kini sudah mendekat.

Ia mendesah dalam hati.

Lalu ia berjalan lagi. Tak ada yang tahu siapa dia dan tak ada yang mengenal jelas keberadaannya.

Orang-orang mengenalnya sebagai salah satu misteri The Zone ini. Ketimbang manusia, mereka yang melihatnya mengenal pria itu sebagai bencana.

Itu karena ada seratus ghoul yang selalu mengikutinya dari belakang.

Mereka berjalan sangat lamban. Tak akan bisa menyusul pria yang mereka kejar kecuali ia berkehendak demikian.

Ia tak tahu mengapa mereka mengejarnya. Tapi mereka selalu ada di belakangnya. Mereka sudah ada semenjak pria itu dikirim dari bumi oleh kekuatan asing untuk hidup dalam The Zone yang tandus ini.

Setiap kali ia membunuh satu ghoul, maka akan ada dua ghoul lain yang datang. Pernah ia melintasi jembatan dengan jurang hitam pekat di bawahnya. Sesampainya di ujung jembatan ia akan memutuskan tali dan jembatan itu langsung terputus. Yang tersisa hanyalah kehitaman jurang yang menyerap sisa dari sari-sari kehidupan yang mengambang di The Zone.

Jadi tak ada cara lain lagi untuk menyeberang setelah jembatan ia hancurkan. Tetapi kemudian para ghoul itu melompat ke jurang, dan sehari kemudian mereka muncul lagi seperti sedia kala.

Akhirnya pria itu tak ambil pusing. Ia akan berjalan dan perlahan-lahan meninggalkan jauh para ghoul itu. Saat ia terdiam atau mengambil tidur, para ghoul itu akan mendekat lagi. Lalu ia berjalan lagi, dan tak lama kemudian mereka sudah jauh lagi.

Tak ia sadari hal tersebut sudah menjadi rutinitasnya.

Suatu hari, pria itu melihat sebuah dome di kejauhan. Dome adalah suatu tempat yang layak untuk manusia tinggal dalam The Zone ini. Setiap dome memiliki sebuah filter yang dapat menyaring udara dari virus atau aura jahat atau apa pun namanya itu sehingga aman untuk dihirup oleh makhluk hidup di sekitarnya.

Rata-rata, sebuah filter berkualitas menengah dapat menyaring udara di sekitar seratus lima puluh kilometer persegi dan menampung sekitar seratus ribu jiwa. Jika sebuah dome memiliki dome seperti itu, maka akan ada satu atau lebih fraksi yang menguasai dan mengaturnya.

Tetapi yang pria ini lihat adalah dome dengan dinding yang dibuat dari kayu-kayu kering. Ia tak tahu dari mana mereka mendapat kayu seperti itu di dalam The Zone ini.

Dome di depannya tak sampai sepuluh kilometer persegi. Dome seperti ini biasanya memiliki filter berkualitas buruk dan didiami oleh kumpulan orang-orang tanpa persenjataan yang memumpuni dan ada yang memimpin. Sering kali banyak mereka yang meninggal dalam dome seperti ini terutama mereka yang baru lahir. Mereka yang meninggal akan dibakar menjadi abu agar mayatnya tak kembali hidup sebagai ghoul.

Bisa dibilang mereka adalah pengungsi di dalam The Zone. Dunia luar sangat keras, yang bisa bertahan di sini hanyalah ghoul dan mereka yang ditakdirkan menjadi ghoul.

Pria itu berlari sekencang yang ia bisa ke arah dome itu. Meninggalkan seratus ghoul yang mengejarnya di ujung cakrawala. Ia tak menghiraukan napasnya yang terengah-engah dan hanya bisa berlari sekencang yang ia bisa.

Ketika ia sampai di depan gerbang dome itu, tubuhnya ambruk tak bisa berjalan lagi.

“Siapa kamu? Dari dome apa kamu datang?” sahut seorang penghuni dome dari atas dinding.

“Aku tinggal di luar dome. Beri aku air, dan aku akan pergi dari sini.”

“Gak bakal! Sumur kami sudah hampir kering, gak ada yang tersisa untuk orang lain. Kusarankan kamu segera pergi. Aku bisa pura-pura gak melihatmu tapi orang-orang yang di dalam punya dendam dengan orang luar.”

“Hanya satu botol saja yang kuminta. Aku akan diam di sini sampai kalian memberikanku air. Kalau gak begitu, dalam tiga hari aku akan mati. Apa bedanya dengan dibunuh oleh orang-orangmu?”

“Lakukan apa yang kamu suka. Tapi jangan ribut. Jika orang-orang yang di dalam tahu ada orang luar yang tidur-tiduran di depan gerbang maka akan ada masalah nantinya.”

Pria itu tak menjawab. Ia menempelkan diri ke dinding kayu dan bersembunyi di dalam bayangan teduh dinding tersebut.

Tak lama, seratus ghoul terlihat di kejauhan.

“Gerombolan ghoul! Ada gerombolan ghoul yang datang kemari!” seru orang yang menjaga gerbang itu.

Kemudian satu per satu wajah yang pucat muncul di dinding. Jika seratus ghoul menyerang dome mereka, maka yang tersisa hanyalah puing-puing. Mereka tak cukup kuat untuk menahan gelombang serangan seratus ghoul.

“Apa yang harus kita lakukan?” tanya seorang wanita paruh baya dengan rambut abu dan keriput di wajahnya.

“Lari!”

“Lari? Seminggu tinggal di luar dome, gak bakal ada yang selamat kita!”

“Terus kita harus apa? Peluru yang kita punya gak cukup untuk melawan ghoul-ghoul ini.”

Mereka terdiam. Hening. Suara angin bertiup lembut dari luar. Wajah mereka makin tenggelam pucat.

“Kita akan mati di sini,” kata salah seorang dengan nada putus asa.

“Aku gak mau menjadi makanan ghoul!”

“Berisik! Kamu pikir kita semua mau? Kalau gak ada masukan mending diem aja!”

“Peluru kita gak cukup untuk ghoul-ghoul itu, tapi mungkin... cukup untuk kita semua?”

Mereka terdiam lagi. Semuanya memandangi seorang pria botak yang memiliki ekspresi wajah sudah bersiap untuk mati.

*DOOR!!!*

Suara tembakan terdengar tak jauh dari mereka. Semuanya terkejut, kemudian menoleh ke arah tubuh yang kepalanya sudah hancur dan isi otaknya sudah berserakan dalam kolam darah.

Rupanya ada yang mencerna percakapan tadi, dan memilih mati dengan tangan sendiri ketimbang menjadi santapan ghoul.

Seorang pria lima puluh tahunan berjalan ke arah mayat itu dan mengambil senjata api usang yang di tangannya yang terkulai lemas.

“Oke, siapa berikutnya? Yang memilih untuk tetap hidup akan membakar mayat mereka yang mati.”

Seorang wanita muda maju dan menjulurkan tangannya untuk menerima senjata api itu.

“Ririn, biar paman saja yang melakukannya. Kamu cukup tutup matamu dan semuanya akan segera berakhir.”

Wanita itu mengangguk. Ia menutup matanya.

“Depresi sekali!”

Sebuah suara menyahut dari luar dome. Tepatnya di bawah dinding. Semuanya melihat ke arah pria dengan jubah compang-camping di situ.

“Kamu siapa?”

“Bukan siapa-siapa. Tapi kalau kalian ada masalah, ngomong saja sama aku.”

“Ada seratus ghoul yang datang kemari. Kamu orang luar? Datang kemari tanpa masker berfilter seperti itu, apa kamu ghoul yang bisa berbicara?”

“Bukan, lah. Aku cuma orang yang numpang lewat. Kalau kalian memberikanku sepuluh botol air, aku akan mencoba untuk menarik para ghoul itu menjauh.”

Tak ada negosiasi. Sepuluh botol air langsung jatuh dari atas dinding beberapa saat kemudian.

“Terima kasih, tuan-tuan dan nyonya-nyonya. Aku jamin ghoul-ghoul itu gak bakal menyentuh dome ini.”

Dengan demikian pria asing itu pergi. Ia tak mendekati gerombolan ghoul di kejauhan untuk menarik perhatian mereka.

Ia hanya pergi menjauh dari dome itu.

Wajah para penduduk dome semakin tenggelam. Mereka merasa ditipu dan hanya bisa menarik napas panjang.

Tetapi setelah ia sudah melangkah lama, gerombolan ghoul itu tiba-tiba berbelok dan mengikuti arahnya pergi.

Hari itu berlalu dan dome beserta para penduduknya selamat kecuali yang bunuh diri tadi.

***

<<PREVIOUS CHAPTERNEXT CHAPTER>>