The Zone Oddity: Book 1, Chapter 2



Chapter 2 - Dengan Gitar Ia Bercerita (1)

Ia menunggu di bus. Terbaring di kasur khusus yang dipasang untuknya. Di dadanya, senar gitar dipetiknya membuat nada acak. Pikirannya terlepas dari perkara dunia, melamun bebas sembari matanya menerawang kosong langit-langit bus.

Di kepalanya, ia sibuk menyusun lagu berikutnya.

“Seorang pria datang untuk menemui kekasihnya,” bisiknya. “Harusnya ada sinar rembulan. Ia datang membawa gitar. Ke arah jendela kamar, ia memanggil-manggil nama si gadis. Lalu melegakan hatinya dari rindu yang ditahan.”

“Fuuuhhhhh...”

Ia menghembuskan asap rokok dan memadamkan rokoknya. Lalu bangkit keluar bus, dan di bawah sinar matahari ia menyandarkan punggung ke bus, mulai memetik nada lagu yang ia susun barusan.

“Kita akan berangkat dua jam lagi. Sudah makan barusan?”

Manajernya muncul kemudian. Seorang wanita empat puluhan dengan keriput halus di wajahnya dan sorotan mata yang tegas. Menghadapi pertanyaan wanita itu, si musisi berkacamata hitam hanya mengangguk dan melanjutkan memetik gitarnya.

“Yang ini lagu barumu?”

“Judulnya “Dengan Gitar Ia Bercerita””

“Hm? Lagu macam apa?”

“Mungkin roman. Tapi mungkin lebih ke arah tragedi. Kayak romeo juliet. Liriknya masih draft pertama.”

“Coba kudengar chorusnya.”

“Dududu...
Dengan gitar ia berceritaaa~ aa~ aaaa~~
Karena lidahnya telah lelah menelan derita
Di antara sinar rembulan pucat dan gelap gulita
Terdiam terpaku termangu tanpa berita
Wuhuuu~~”

Si manajer mendengarnya sambil menaruh jemari di bibir bawahnya, terlihat serius mencerna. Tapi ia tak pernah memiliki selera dan kepekaan musik yang bagus, satu-dua masukan darinya tak terlalu penting untuk didengar.

“Apa ini lagu yang bakal jadi kolaborasi bareng cewek itu?”

“Kalau itu terserah dia mau kolaborasi bareng atau gak. Yang penting dia denger dulu, ini lagu aku tulis gak terlalu serius juga sih.”

Manajer itu mengangguk, mengingatkannya untuk ke toilet sebelum berangkat dan pergi kembali untuk mengurus urusannya.

Si musisi kembali bermain gitar seorang diri.

Siang itu tak ada wajah orang lain yang terlihat di sekitarnya karena ia tak suka ada yang mengganggunya saat ia beristirahat.

Lima belas menit kemudian, ia naik ke busnya untuk mengambil bungkus rokoknya. Tetapi tepat setelah ia menganjakkan kaki ke dalam bus, tiba-tiba ia terpeleset.

Tubuhnya roboh dan punggungnya mendarat di aspal hitam yang panas menyerap sinar matahari. Ia tak bisa berbuat apa-apa, ubun-ubun kepala belakangnya menghantam daratan keras dan ia langsung tak sadarkan diri.

***

Saat ia membuka matanya, musisi itu sudah berada di tempat yang tak ia kenal.

Tanah tempatnya terbaring sudah tandus berdebu dan retak di sana-sini. Rerumputan sudah mengering dan tak bernyawa. Ia melihat tak ada bangunan dan tanda-tanda peradaban manusia sampai ke ujung cakrawala.

“Ini dimana?” bisiknya dalam hati.

Ia meraba-raba kepala belakangnya. Kemudian ia mendapati jejak darah mengering dari situ.

“Ughh...”

Yang ia lakukan di daerah terpencil seperti ini hanya mengeluh dan mendesah. Ia tak bertanya mengapa ia dan siapa yang memindahkannya ke tempat ini. Karena ia sudah berada di sini, ia hanya bisa pasrah.

Satu jam kemudian, ia memutuskan berjalan ke arah barat. Berharap menemukan penduduk dan meminta air minum. Tapi yang ia lihat hanyalah daratan kering di mana-mana.

Dua jam berlalu lagi, ia mulai melihat bukit berbatu. Ia mempercepat langkah kakinya. Kemudian bukit itu ia panjat, sampai ke puncaknya, si musisi menoleh ke segala arah untuk melihat keadaan.

Lalu dari arah utaranya, ia melihat empat sosok manusia berjalan di kejauhan.

Musisi itu menarik napas panjang. Tak lama lagi, ia akan melegakan dahaganya. Ia pun berencana untuk bertanya tempat macam apa ini dan ke mana arah untuknya pulang.

Dengan tergesa-gesa ia berlari dari atas bukit. Gumpalan asap debu menggumpal dari gesekkan kakinya. Sesekali hampir ia terpeleset, namun cepat ia kembali seimbang dan segera muncul di kaki bukit.

Ia berlari ke arah empat sosok tadi. Takut mereka akan pergi menjauh.

“Kapten, ada orang yang berlari ke arah sini,” kata salah seorang dari empat sosok itu.

“Hm? Dia gak pakai masker? Sepertinya anak baru.”

Suara mereka terdengar berat dan serak karena terdistorsi oleh masker yang mereka pakai. Mereka mengenakan mantel hitam berdebu dan di dada bagian kiri tertera logo yang selaras. Mereka datang dari dome kelas menengah, jadi senjata yang mereka bawa berkondisi cukup baik dan juga tak kekurangan peluru untuk menjelajah keluar dome.

“Dari dome mana kamu?”

Tanya salah seorang bermasker ketika musisi itu mendekat.

“Dome?” tanyanya kembali dengan napas tersengal-sengal.

“Hm. Beneran anak baru,” si kapten membuka tas yang di bawa bawahannya dan mengambil sebuah masker dan melemparkannya ke arah si musisi.

“Ambil itu dan ikuti kami. Kamu akan jadi budak. Kalau gak suka, kamu bisa tantang hewan buas atau ghoul di arena untuk syarat masuk ke pasukan.”

Musisi itu terdiam. Ia menatap lekat masker di tangannya, kebingungan.

“Ini di mana?”

“The Zone. Kamu mungkin punya banyak pertanyaan tapi lebih baik jangan tanya dulu sekarang. Sebaiknya kamu tetap diam sampai tiba di dome nanti. Yang bisa kuberitahu sekarang kamu gak bisa kembali lagi ke bumi.”

“Kita semua selamanya terjebak di sini,” sahut yang lain. “Lebih baik kamu melupakan kehidupan lamamu dan berjuang keras untuk hidup.”

Berjuang keras untuk hidup...

Musisi tersebut tercengang. Hanya karena ia terpeleset jatuh saat naik bus, kehidupan selebritinya hilang begitu saja. Kini ia harus menjadi budak di tempat yang tak ia tahu entah ada di mana.

“Kamu gak apa-apa?” tanya si kapten.

Musisi itu mengangguk, tak ingin mengeluarkan suara. Kemudian ia mengikuti empat orang itu berjalan lagi menyusuri tanah tandus antah berantah dari belakang.

“Anak baru itu lebih tenang daripada yang lain,” bisik salah seorang kepada yang ada di sebelahnya.

“Mn. Dulu waktu aku baru tiba di The Zone mereka hampir membunuhku karena teriak histeris selama berjam-jam.”

“Dia bakal jadi prajurit yang baik. Kita sedang kekurangan orang sekarang.”

“Itu kalau dia berani bertarung untuk mendapatkan statusnya. Banyak anak baru yang lebih memilih menjadi budak ketimbang harus mempertaruhkan nyawa di arena.”

***

<<PREVIOUS CHAPTERNEXT CHAPTER>>